Showing posts with label SELF IMPROVEMENT. Show all posts
Showing posts with label SELF IMPROVEMENT. Show all posts

Ramadhan Tahun Ini

| on
April 09, 2022

 


Assalamu'alaikum.

Halo! 

Bagaimana puasanya dalam hampir seminggu ini teman-teman mama? :) Semoga lancar-lancar yaa :) Saya sendiri di minggu pertama puasa, sudah dua kali bolong karena sakit. Sampai hari ini juga masih agak sakit, tapi sudah mulai coba puasa lagi :)


Sebenarnya saya merasa sedih sekali, di bulan Ramadhan yang datangnya hanya setahun sekali, yang belum tentu di tahun berikutnya kita masih dipertemukan, ternyata saya sakit dan jadi kurang maksimal menjalankan ibadah, termasuk sholat tarawih di masjid yang selalu dikangenin. 


Tapi akhirnya, di balik sakit ini, saya jadi bisa belajar untuk ikhlas kalau semua yang diinginkan, diharapkan, bisa saja tidak berjalan dengan semestinya, dan semua atas kehendakNya. 


Sakit dan bolongnya puasa saya semua atas ijin dari Allah. Ini benar-benar jadi pengingat di saat rasa sedih datang melanda. Semua yang terjadi sudah atas ijin Allah :) InsyaAllah dibalik rasa sakit yang saya, Aliyah dan suami saya alami belakangan secara bergantian, ada kebaikan dariNya :) 


Selamat berpuasa teman-teman mama :) Semoga sehat selalu sampai hari lebaran tiba yaa :) 





A Note To My Self: BAPER

| on
December 08, 2021


Assalamu'alaikum.

Halo!


Baper. 


Jadi orang jangan baperan dong! Atau, duh apa aku yang terlalu baper ya? 


Baper, sepertinya seseorang tuh tidak boleh sekali merasa baper. Hari ini saya chat panjang sekali dengan adik saya. Dia sih yang chat panjang duluan,ahaha. Kami mengobrol panjang sekali sampai-sampai setelahnya saya beli es krim untuk menetralkan hati dan pikiran yang kayaknya penuh sekali :') 


Inti chat kami, yah soal baper salah satunya. Apa aku yang terlalu baper ya, kurang lebih seperti itu. Saya sendiri kadang suka kesal sama kalimat 'jangan baper' atau 'aku aja kali yang baper'. 


Apakah setidak boleh itu kita terbawa perasaan diri sendiri, pada emosi yang dirasakan? Padahal perasaan itu, emosi itu tidak minta apa-apa. Hanya minta kita terima dengan senang hati.


Dari kelas basic parenting yang saya ikuti tempo hari, pada dasarnya ada 5 macam emosi dominan yang sering kita rasakan (waktu itu dalam konteks sebagai orang tua namun menurut saya ini juga cukup valid dalam konteks sebagai individu). 5 emosi dominan itu adalah marah, khawatir, merasa todak enakan, merasa bersalah, dan ingin dipuji. 


Dan saat kondisi atau momen dimana emosi dominan kita sedang keluar, sebenarnya ya tidak apa-apa. Namun, akhirnya menjadi apa-apa karena dianggap baper saat emosi yang kita rasakan itu tidak diterima oleh lingkungan sekitar bahkan diri kita sendiri. Padahal, kalau mau legowo, dan menerima dengan senang hati, tidak ada 15 menit juga akan hilang pelan-pelan emosinya :') 


Saya sendiri sebenarnya cukup struggling dengan istilah baper karena saya memiliki perasaan yang sensitif dalam menyikapi sesuatu. Saya pun tidak suka menjadi orang yang sensitif karena being sensitif sangat melelahkan dan membuat saya hanya punya sedikit teman. Saya menjadi sangat berhati-hati dalam pergaulan. Setiap kalimat yang saya tulis atau saya ketik disusun dengan sangat hati-hati  sehingga tidak jarang menjadi kalimat-kalimat yang kadang terkesan kaku. Semua itu karena saya terlalu takut untuk menyinggung perasaan seseorang, karena saya tau bagaimana sedihnya jika kita merasa tersinggung.


But, here i am now. Saya mencoba untuk menerima rasa sensitif itu dan berusaha menyampaikan apa yang saya rasakan kepada orang-orang di sekitar saya. Saya mencoba mengakui bahwa, yes i'm a sensitif person so it's ok. Dan ternyata orang lain pun pada akhirnya dapat belajar untuk memahami diri saya. Seandainya sewaktu-waktu saya memberi respon yang berlebihan terhadap suatu kejadian (misalnya saya sampai menangis seharian) bagi keluarga saya itu adalah hal yang wajar-wajar saja, hehehe.


Di sisi lain, selain menjadi belajar menerima perasaan diri sendiri, saya juga belajar untuk menerima perasaan orang lain. Ada satu anggota keluarga saya yang tergolong acuh tak acuh. Setiap kali berhubungan dengannya, saya mencoba menetralisir perasaan sensitif yang saya punya. Saya tidak dapat memaksa seseorang untuk menjadi peka terhadap saya. Saya hanya bisa mengontrol apa yang saya rasakan. Kalaupun ternyata sulit, saya memilih untuk lebih baik jarang bertemu dengannya, hehehe.


Begitu pula dengan kehidupan pertemanan yang saya punya. Semakin kesini rasanya dunia pertemanan saya semakin sepi. Awalnya sulit bagi saya untuk menerima kondisi ini, namun, pada akhirnya saya merasa cukup nyaman. Saya mulai percaya bahwa suatu hubungan pertemanan yang sehat bukan dari berapa banyak teman yang dimiliki namun seberapa berkualitas hubungan pertemanan itu, bukan sering tidaknya untuk saling bertemu, namun sering tidaknya untuk saling mendukung. Termasuk menerima emosi dan perasaan dominan yang dimiliki masing-masing.


Semoga pada akhirnya semua mau belajar saling menerima dan memahami, jadi nanti istilah baper sudah tidak perlu digunakan lagi, imho :) 


#mamayayasharingthoughts

Semoga bermanfaat ya :)




Hello August!

| on
August 05, 2020

 


Halo!

Di awal bulan Agustus ini kami sekeluarga sempat memberanikan diri untuk keluar rumah yang agak jauhan sedikit. Tujuannya ke daerah pegunungan tempat biasa kami 'kabur' sebentar sewaktu dulu sebelum pandemi. Jaraknya tidak begitu jauh dari rumah kami, kurang lebih sekitar 1 jam perjalanan. Meski ke daerah pegunungan yang tidak begitu ramai, kami tetap pakai APD dan yaah, rasanya ada yang beda saat jalan-jalan di masa pandemi seperti sekarang ini. Jujur saya tidak menikmati perjalanan ini sepenuhnya. Masih merasa sedikit was-was dan heem yaah udara pegunungan yang sangaat alami dan menyegarkan, kurang dapat begitu dinikmati karena ada masker yang menutupi jalan masuknya udara segar itu ke tubuh ini.


Seketika saya langsung teringat “Fabiayyi ‘aalaa’i Rabbikumaa Tukadzdzibaan” ? 😢 Dulu, bisa menghirup udara dengan bebas yang we take for granted namun kadang suka lupa untuk disyukuri 😢 Sepulangnya, saya benar-benar merasa sangat 'cukup'. Sungguh apa-apa yang diberikan olehNya lebih dari cukup. Sungguh rasa 'kurang' itu datang dari hati yang kadang lupa kata syukur ini. Sungguh nikmatNya senantiasa tidak dapat didustakan. Semoga, di keadaan yang cukup strunggling seperti sekarang ini, kita semua senantiasa diluaskan rasa sabar dan syukur olehNya, Aamiin :)

Have a nice August teman-teman mama :)



 

#CERITAKUDARIRUMAH Tentang Kebaikan, Ramadhan dan Covid-19

| on
May 20, 2020

Halo!

"Suatu hari, di dalam perjalanan saat bapak mengantar saya pulang ke rumah, bapak pernah bercerita tentang sesuatu. Sebuah pesan tentang kebaikan. Pesan yang InsyaAllah akan selalu teringat dan tersimpan di hati sampai nanti, saat nafas terhenti."

Waktu itu, di dalam sebuah perjalanan di dalam pesawat menuju ke Lombok bersama rahimahullah adik, Bapak duduk bersebelahan dengan seorang pria. Seseorang yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Dari cerita bapak, meski baru saja kenal di dalam pesawat, mereka mengobrol sangat akrab. Sebut saja namanya Pak Ali. Begitu tiba di Lombok, Pak Ali menawarkan diri untuk mengantarkan Bapak dan adik ke hotel tempat mereka menginap. Lalu, keesokan harinya Pak Ali kembali menjemput Bapak dan mengajak Bapak memancing bersama, kebetulan saat itu Bapak memang sendirian saja di hotel, karena adik harus ke kantor menyelesaikan pekerjaannya

Kepada saya, Bapak berkata kalau tidak pernah menyangka ada orang yang baru dikenal bisa berbuat sebaik itu kepada Bapak. Kejadian ini membuat Bapak teringat rahimahullah mbak Kakung, ayah Bapak. Dulu, sewaktu Bapak masih kecil, mbah Kakung sangat sering menawari tentara yang kelelahan dan kebetulan lewat di depan rumahnya untuk singgah. Meski keadaan keluarga saat itu sedang  pas-pasan, mbah Kakung dengan senang hati menawari sang tentara untuk  beristirahat sejenak di rumahnya. Biasanya, mbah Kakung akan meminta mbah Uti menyiapkan suguhan cemilan dan teh hangat, ataupun sepiring nasi dengan lauknya jika memang ada untuk disuguhkan kepada sang tentara sebagai pengusir lelah.

Cerita berbagi kebaikan yang dilakukan oleh mbah Kakung, diceritakan oleh Bapak kepada saya, sebagai pesan bahwa kebaikan yang menghampiri kita setiap saat bisa jadi karena kebaikan di masa lalu yang dilakukan oleh orang tua, kakek nenek, bahkan buyut kita.

"Orang baik kepada kita itu belum tentu buah dari kebaikan yang kita tanam sekarang. Bisa jadi, kebaikan itu buah dari kebaikan yang ditanam oleh orang tua kita sejak dulu. Berbuat baik sekarang bisa saja berbuah nanti, buah yang bisa dipanen oleh anak cucu kita nanti. Pokoknya, kebaikan itu dilakukan saja, untuk diri sendiri, untuk keluarga, untuk anak dan cucu, untuk orang lain yang membutuhkan bantuan kita. Dibalasnya kapan, cukuplah Allah yang Maha Mengetahui"

Lain cerita dengan rahimahullah adik saya, Ario. Empat tahun yang lalu, tepatnya 11 Maret 2020, adik saya, Ario berpulang setelah tiga tahun berjuang melawan kanker tiroid. Patah hati saya kala itu. Salah satu yang menjadi kekuatan untuk mengikhlaskan adalah sewaktu satu-persatu petakziah datang, yang ternyata beberapa diantaranya tidak kami sangka-sangka kehadirannya. Semua sama, bercerita tentang kebaikan yang pernah dilakukan oleh rahimahullah adik. Adik saya telah pergi, tapi kebaikan yang pernah dilakukannya akan selalu terkenang sampai nanti.


Dari kejadian ini saya kembali belajar. Kebaikan semasa kita masih diberi nafas menjadi satu-satunya yang akan dikenang saat jasad tak lagi bisa bersama.

Dua bulan berlalu sejak masa physical distancing diberlakukan, sejak itu pula saya belum lagi mengunjungi bapak, mama dan adik perempuan saya. Mungkin sama dengan teman-teman lainnya, saya sangat rindu saat-saat berkumpul dengan keluarga, apalagi di bulan Ramadhan seperti sekarang ini, bulan yang dipenuhi dengan berkah dan kebaikan dariNya.

Kalau ingin melihat lebih dekat, sesungguhnya Allah Maha Baik, memberi kita kesempatan menjalani bulan Ramadhan di tengah pandemi COVID-19 ini. Allah memberi ribuan jalan kepada kita untuk bersibuk menebar kebaikan, bahkan ketika keadaan memaksa kita untuk tetap di rumah saja. Meski tidak lagi bebas kemana-mana, ruang gerak seolah terbatas, namun kesempatan untuk berbagi selalu tanpa batas. Inpirasi berbagi kebaikan datang tanpa henti. Ternyata, banyak sekali orang baik diluar sana yang masih saling peduli.

Semua orang saling bergerak melakukan apa yang bisa dilakukan. Ada yang membuka donasi untuk membantu para petugas kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam pandemi COVID-19 ini, ada yang mengumpulkan bahan makan untuk masyarakat yang terdampak pandemi, ada yang jajan di aplikasi ojek online dan membeli porsi ekstra untuk dibagi kepada abang ojek nya, ada yang di satu kota namun memesan makanan di lain kota via aplikasi online untuk dibagi ke keluarga di lain kota yang pemasukannya sedang menurun terkena dampak pandemi COVID-19. Ada juga yang berbagi kebaikan dengan berbagi ilmu melalui kelas-kelas virtual. Masyarakat umum, lembaga amal ataupun yayasan sosial semua bergerak untuk saling membantu. Semua ini menjadi hikmah yang Allah beri dibalik pandemi COVID-19. 

Di Ramadhan kali ini, meski belum berkesempatan berbuka puasa bersama orangtua dan adik, melangkahkan kaki bersama untuk sholat tarawih di masjid, menikmati peristiwa subuh dengan jalan beriringan dari masjid, namun masih banyak hal yang patut disyukuri. Hikmah dari pandemi COVID-19 mengajarkan banyak hal kepada saya. Belajar untuk lebih banyak berbagi karena kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi nanti. Lebih menghargai waktu dan silaturahmi karena waktu bisa saja tiba-tiba terhenti. 

Dari rumah, inpirasi kebaikan dari bapak, adik dan teman-teman dicoba dilakukan bersama suami dan anak, semampu kami. Ketika memasak untuk takjil berbuka puasa, kami mencoba membuat sedikit berlebih agar bisa saling berbagi dengan tetangga ataupun security di kompleks kami. Ternyata dari berbagi makanan, rindunya momen berbuka puasa bersama orangtua dapat terobati, Alhamdulillah.

Di kesempatan yang lain, keadaan ekonomi yang cenderung menurun karena pandemi COVID-19 membuat kami yang saling bertetangga berusaha saling mendukung satu sama lain. Saling membeli produk jualan tetangga adalah salah satu usaha yang dilakukan untuk mendukung perekonomian keluarga agar dapat tetap berputar. Kami pun menjadi lebih guyub dari biasanya meski adanya jarak aman diantara kami, Alhamdulillah.

Berbagi kebaikan di lingkungan yang terdekat tidak berarti  berbagi kebaikan kepada yang sedang berjauhan menjadi terlupakan. Terinspirasi dari adik perempuan saya yang suka mengirimkan makanan kepada sanak saudara di luar pulau, sesekali kami mencoba melakukan hal yang sama. Rasanya senang sekali saat ibu mertua di luar kota menelepon karena terkejut mendapatkan kiriman makanan. Di saat satu kebaikan dilakukan, ada rasa bahagia disana. Tanpa kita sadari, hormon serotonin di dalam tubuh meningkat, rasa stres dan depresi hilang, imunitas tubuh menjadi meningkat dan InsyaAllah tubuh kita menjadi jauh lebih sehat. Bahagia dari sebuah kebaikan yang dilakukan juga bisa datang dengan cara yang lain seperti tiba-tiba ada rejeki makanan yang dikirim oleh tetangga disaat kami sedang berusaha berhemat untuk mencukupi kebutuhan. MasyaAllah, ternyata banyak sekali kebaikan yang kembali kepada kita disaat kita berbagi kebaikan kepada yang lainnya. Seperti janji Allah di dalam Al-Qur'an Surat Ar-Rahman:60

Ù‡َÙ„ْ جَزَاءُ الْØ¥ِØ­ْسَانِ Ø¥ِÙ„َّا الْØ¥ِØ­ْسَانُ


"Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan pula"
(QS. Ar-Rahman:60)

Kebaikan Tanpa Batas

Di bulan suci Ramadhan ini, Allah senantiasa membukakan kita pintu kebaikan dari berbagai arah. Kesempatan untuk berbagi kebaikan seolah tanpa batas. Tanpa mengenal tempat dan waktu. Tidak hanya berbagi kepada yang dikenal saja, namun juga kepada yang lain, yang ternyata sedang membutuhkan bantuan kita, meski kita tidak saling tahu satu sama lain.

"Di luar sana, banyak sekali yang ternyata membutuhkan bantuan kita tanpa kita sadari. "

Adalah lembaga amil zakat Dompet Dhuafa sebagai salah satu lembaga amil zakat yang amanah sejak tahun 1993 sebagai perantara kita untuk berbagi kebaikan kepada yang lain. Tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, Dompet Dhuafa memiliki beragam program berbagi kebaikan di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial budaya, dan dakwah.

Masih segar di dalam ingatan saya ketika saya meendapatkan rejeki dari tulisan saya di blog, Bapak langsung mengingatkan "jangan lupa zakatnya ya, Jeng". Alhamdulillah, saya diingatkan oleh Allah melalui Bapak untuk tidak lupa berbagi kebaikan kepada yang lain. Melalui Dompet Dhuafa, zakat dari rejeki tersebut saya salurkan. Saya titipkan kepada suami untuk diteruskan ke akun Dompet Dhuafa di salah satu e-commerce. Dari pengalaman tersebut, saya baru mengerti ternyata berbagi kebaikan saat ini menjadi jauh lebih mudah tanpa harus kemana-mana, cukup dilakukan dari rumah saja.

Banyak sekali program yang dimiliki oleh Dompet Dhuafa sebagai pintu berbagi kebaikan untuk kita. Di masa pandemi COVID-19 ini, Dompet Dhuafa, khususnya Dompet Dhuafa Sulawesi Selatan punya banyak program berbagi kebaikan untuk para petugas kesehatan ataupun masyarakat yang terdampak pandemi.  Kebaikan yang dibagi dapat dilakukan cukup dari rumah saja, bahkan petugas dari Dompet Dhuafa siap sedia menjemput zakat kita dengan datang ke rumah lengkap dengan prosedur kesehatan yang diberlakukan saat ini. MasyaAllah, sungguh Allah memudahkan kita dalam berbagi kebaikan ya :) Selama bulan Ramadhan, Dompet Dhuafa Sulawesi Selatan juga mengadakan Ramadhan Virtual Festival yang merupakan program-program virtual yang digagas oleh Dompet Dhuafa untuk menyemarakkan bulan suci Ramadhan di tengah pandemi COVID-19. Harapannya, kemeriahan program Ramadhan Dompet Dhuafa di tahun-tahun sebelumnya, dapat tetap terasa oleh masyarakat meski di tengan kondisi pandemi COVID-19. Beragam program virtual diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa diantaranya:
  • Tarrib Ramadan
  • Kelas Tafsir
  • Kelas Appilajara
  • Kelas Tahsin
  • Arabic Class
  • Sirah Nabawi
  • Ngabu-Bookread
  • Humanitalk,
dan masih banyak lagi yang lainnya yang bisa teman-teman cek di akun instagram Ramadan Virtual Festival @ramadanvirfest. MasyaAllah, semoga Allah selalu melimpahkan berkah dan rahmatNya untuk teman-teman yang senantiasa berbagi kebaikan, Aamiin Allahumma Amiin.

Semoga bermanfaat ya :)




Disclaimer: "Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Competition "Ceritaku dari Rumah" yang diselengggarakan oleh Ramadan Virtual Festival dari Dompet Dhuafa Sulawesi Selatan" 










Pandemic, Anxiety & Feeling Better

| on
April 04, 2020

Halo!

Bagaimana kabarnya teman-teman mama setelah masuk hitungan puluhan hari #dirumahaja? (last post nanya kabar, sekarang nanya kabar lagi?) Nanya kabar terus karena saya menyadari, dan mungkin kita semua menyadari basa basi ini feel better di tengah kondisi pandemi yang masih melanda. Semoga teman-teman mama semua sehat selalu ya :) Kalaupun ada yang sedang kurang sehat, semoga lekas fit lagi badannya :) Aamiin

ALSO READ: THIS TOO SHALL PASS, INSYALLAH...

Sebenarnya saya ingin sharing ini di instagram story, tapi entah kenapa IG story saya error, dan saya putuskan untuk menulisnya di blog post agar tidak keburu lupa. Sebenarnya masih tentang pandemi covid-19. Kemarin saya sempat mengobrol dengan suami saya. 

"Aku lega, aku habis unfollow beberapa portal berita di instagram" kata saya waktu itu. 
"Lho kenapa?" tanya suami saya. 
"Ga apa-apa, aku suka baca komen dan komennya negatif semua. Terus jadinya aku kebawa emosi" kata saya. 
"Oh kamu tipe yang mudah terpengaruh ya?" kata suami saya. 
"Engga sih sebenarnya. Hanya itu seperti masuk ke dalam bawah sadar dan membawa energi negatif ke aku. Aku percaya kalau kita suka liat/baca yang negatif, pikiran kita pasti negatif. Ya kan?" kata saya lagi.
"Hmmmm" suami saya hanya menjawab itu (sebenarnya ada sedikit debat diantara kami, karena kami beda persepsi soal ini. Tapi it's oke. Kami bisa saling menerima persepsi masing-masing dan tidak saling memaksakan satu sama lain.

Saya sendiri tidak tahu apakah langkah yang saya lakukan sudah tepat atau belum. Apakah termasuk denial atau tidak. Tetapi, soal pandemi ini memang sudah cukup banyak menguras tenaga dan pikiran kita kan? Di blog post sebelumnya saya sempat menulis hal positif atau hikmah dibalik pandemi ini. Bukan untuk denial, tapi memang sejatinya selalu ada kebaikan dari apa-apa yang Allah SWT kehendaki untuk kita semua. Saya sendiri memutuskan untuk mengurangi mengonsumsi berita tentang pandemi covid-19 karena yah selain memang kadang saya gabut dan secara tidak sadar suka baca-baca komen tidak jelas, saya punya kenderungan mudah gelisah atas sesuatu. Kemudian berujung cemas dan sulit tidur. Walaupun kalau dipikir atau ditanya apa yang membuat saya cemas dan gelisah, pasti jawabannya tidak tahu. Dan i feel so much better setelah me-unfollow beberapa portal berita tersebut. Saya memutuskan untuk akan mencari informasi saat saya merasa siap dan perlu, dalam kondisi emosi dan perasaan yang jauh lebih baik dengan intensitas yang mungkin hanya sesekali saja. Sisanya, saya melakukan semaksimal mungkin yang saya bisa untuk membantu pemerintah, para dokter dan orang sekitar saya dengan tetap diam di rumah dan tetap menjaga kesehatan dan kebersihan.

Kita semua punya cara masing-masing dalam menghadapi dan menyikapi pandemi ini. Ada yang merasa sangat berat karena Qadarullah merasakan langsung kondisi terjangkit atau sanak keluarga ada yang terjangkit. Ada yang mungkin masih biasa-biasa saja karena belum merasakan, Naudzubillah. Saya sangat mengerti hal ini, karena hal ini membawa saya kepada kejadian 6-8 tahun yang lalu disaat kami sekeluarga berjuang menemani rahimahullah adik melawan kankernya. Sampai pada akhirnya Allah berkehendak lain, dan adik berpulang. Sejak itu saya menjadi tau bagaimana sakitnya perasaan seseorang yang kehilangan. Sejak itu pula saya menjadi mudah cemas dan gelisah. Aliyah sakit sedikit, pikiran saya sudah bercabang kemana-mana. Dan rasanya sangat tidak enak. Kita memang tidak pernah tau bagaimana rasanya mengalami satu  kejadian yang tidak enak sampai kita benar-benar mengalaminya sendiri.

Pengalaman kita di masa lalu membuat masing-masing dari kita punya cara tersendiri menyikapi pandemi ini. Mungkin yang sedikit bercanda belum tentu benar-benar bermaksud untuk bercanda. Bisa jadi itu adalah bentuk pertahanannya melawan kegelisahan. Yang memposting hal lain yang menyenangkan belum tentu tidak peduli. Yang ingin merasa lari dari rumah, belum tentu 'suasana' rumahnya  sama nyamannya dengan yang lain. Tidak semua bisa leluasa berbelanja online. Ada yang masih ketar-ketir harus pergi ke pasar setiap hari. Yang mulai merasa bosan di rumah, belum tentu benar-benar bosan, karena kalau di swicth harus keluar rumah terus tanpa henti, pasti juga belum tentu siap kan? Kalau sebelum pandemi, bermain media sosial semakin menantang dan membuat kita harus benar-benar bijak menyaring setiap informasi yang kita terima, selama pandemi ini menjadi lebih semakin menantang lagi karena kita benar-benar harus jaauhhh lebih bijak menyerap informasi dan menyesuaikannya dengan keadaan dan kondisi kita in real life.

Kita tidak harus mengikuti gaya influencer how they spent #dirumahaja kalau memang kita punya kondisi #dirumahaaja yang sedikit berbeda. Kita tidak harus ikutan bikin mainan anak-anak kalau memang kita tidak ada passion ke sana, karena setiap ibu juga unik dan punya bakatnya masing-masing. Selalu ada cara versi kita sendiri untuk menemani anak-anak main di rumah :) Kalau terbiasa dengan yang ribet, go.. keep it ribet kalau kita bahagia dengan itu (ada ya orang suka ribet? ada, adik perempuan saya buktinya hehehe). Then keep it simple kalau kita tidak suka yang ribet-ribet. The point is, di tengah pandemi seperti sekarang ini, dimana semua rasanya serba sulit, kita punya hak untuk memilih mana yang saja yang sesuai dengan kondisi dan keadaan kita sekarang dan paling tidak membuat kita merasa sedikit lebih baik (meski merasa cemas dan gelisah luar dalam). 

Sebagian dari kita sangat aware terhadap pandemi ini. Namun, di sisi lain, ternyata sebagaian lagi mulai ada yang berani hanging out kumpul-kumpul sampai harus diamankan polisi atau orang-orang di daerah kecamatan saya misalnya, dengan masih cueknya berjualan makanan tanpa masker dan mengambil makanan dengan tangan telanjang, tangan yang habis digunakan memegang uang kertas. It's hard. Saya tidak membela pemerintah yang bagaimana-bagaimana tapi memang tidak mudah mengatur 200 juta lebih kepala dengan pola pikirnya masing-masing. Memang langkah yang diambil tidak boleh lempeng, tapi apapun itu semoga membawa dampak yang baik untuk kita semua. 

Overall, saya percaya kita semua bisa melalui ini sesulit apapun kondisinya saat ini. Mengingat pengalaman sulit dimasa yang lalu (walaupun sebenarnya perlu berbesar hati untuk mencoba mengingatnya) yang berhasil dilewati ternyata cukup membantu untuk menguatkan di tengah kondisi pandemi seperti sekarang ini.



Oh iya, untuk teman-teman mama yang terkadang merasa anxiety seperti saya, ternyata ada doanya untuk membantu kita merasa lebih baik:) Saya sempat baca di IG @yaqeeninstitute sebuah doa dari Al-Hadist, Abu Dawud. Doa nya bisa dibaca sebanyak 7 kali saat sedang merasa cemas dan gelisah.

InsyaAllah kita senantiasa disabarkan dan dikuatkan ya :)

Allah Maha Baik 💙










THIS TOO SHALL PASS, INSYAALLAH...

| on
March 23, 2020

Halo!

Bagaimana kabarnya teman-teman mama setelah seminggu #dirumahaja? Semoga sehat dan selalu dalam lindunganNya ya, Aamiin. Setelah seminggu #dirumahaja, saya, suami dan Aliyah jadi banyak sekali belajar tentang berbagai hal. Iya, memang benar kalau segala sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya, kan? Tidak hanya belajar dari hikmah di rumah saja selama satu minggu  ini tapi juga sangat sangat belajar dari wabah Covid-19 ini. Dan, mungkin tidak hanya kami, tapi teman-teman mama juga pasti merasakan banyak hal yang dapat dipetik dari kejadian ini berdasarkan preferensi masing-masing.

Mungkin ada yang awalnya sedikit mengentengkan wabah ini, termasuk saya, sampai sempat menganggap pemerintah juga santai-santai saja, lalu semakin kesini semakin sadar bawah wabah ini seserius itu dan pemerintah juga bekerja dengan susah payah semaksimal mungkin  untuk menjaga kita semua. Saya juga sempat menonton tayangan podcast Dedy Corbuzier bersama Bapak Achmad Yurianto, selaku juru bicara Presiden dalam penanganan Covid-19.

Setelah menonton tayangan tersebut, saya dan suami akhirnya menyadari bahwa kita harus benar-benar seserius itu dalam menghadapi Covid-19. Tidak juga menjadi panik ataupun paranoid, tapi paling tidak kami jadi mengikuti semua anjuran untuk menjaga kesehatan, kebersihan, melakukan social distancing, tidak berpergian, dan anjuran lainnya demi kesehatan dan keselamatan bersama. Kami pun menjadi sangat-sangat menghargai segala upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah. Apapun itu, kami percaya, semua yang dilakukan pemerintah saat ini adalah keputusan yang terbaik.
Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan mengujinya (HR At-Tirmidzi & Abu Dawud )
Kembali lagi kepada segala sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya, dan Allah SWT tidak akan menurunkan sesuatu melainkan karena Allah SWT sangat sayang kepada kita semua. Banyak sekali hikmah yang bisa dipetik dari wabah Covid-19 ini. Dulu, kita yang sembarangan makan dan minum, sekarang jadi lebih memperhatikan apa yang masuk ke dalam tubuh kita. Kita yang dulu dzalim terhadap tubuh ini, mulai jadi berbenah diri. Lebih banyak makan makanan sehat, minum-minuman rempah dan rimpang, yang sebenarnya dan seharusnya kita lakukan sehari-hari jauuh sebelum wabah Covid-19 melanda, Dulu, masih suka malas melangkahkan kaki ke masjid untuk sholat berjamaah, sekarang jadi sangat rindu untuk ke masjid tapi keadaan yang belum memungkinkan karena sedang dalam masa social distancing. 

Dulu, mau menyapa tetangga dan bercengkrama menjalin silaturahmi masih suka menunda-nunda. Sekarang, mau ngobrol sebentar saja sudah was-was, dan harus menjaga jarak 1-2 meter. Dulu sewaktu lagi senggang, masih belum menyempatkan waktu untuk main ke rumah orangtua. Sekarang jadi kangen karena memang belum bisa bertemu dulu. Yang tadinya setiap pagi malas-malasan di dalam kamar, sekarang jadi rajin keluar menyapa matahari pagi 

Ada istri yang jadi benar-benar lebih menghargai kehadiran suaminya. Ada suami yang menjadi lebih menghargai istri karena sebegitunya menjaga kesehatan dan kebersihan keluarga. Ada ibu yang menjadi lebih menghargai waktu bermain bersama anak karena mungkin sebelumnya sibuk bekerja ataupun terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan rumah tangga.

Ada orangtua murid yang menjadi lebih menghargai peran guru-guru di sekolah. Ada anak yang menjadi lebih sering menelepon kedua orangtuanya. Ada kajian yang menjadi lebih ramai dari biasanya meski dilakukan secara online. Ada sholat yang lebih khusyuk dari biasanya. Ada bibir yang lebih sering beristighfar dari biasanya. Ada sepupu atau keponakan yang menjadi lebih perhatian menanyakan kabar kepada sepupu atau tante dan om nya. Ada yang meski tidak saling kenal, tapi saling menjaga dengan soscial distancing. Ada rumah yang tidak lagi sekedar untuk numpang tidur, tapi menjadi lebih diperhatikan pemiliknya, menjadi lebih dirawat dan dibersihkan. Meski rumah adalah benda mati, tapi percaya deh, rumah  juga punya aura bahagia kalau dirawat dengan baik. 

Dan ternyata, ada satu negara yang katanya negara kesatuan, membuktikan bahwa ia memang negara kesatuan, karena semua warga negaranya bergerak, bekerja sama, saling mendukung, membantu satu sama lain di tengah wabah ini. Semua mengambil peran. Dokter dan para petugas medis yang rela segenap jiwa dan raga berjuang, pemerintah yang terus berupaya tidak kenal lelah, para tokoh yang bergerak untuk berdonasi, para ibu yang saling berbagi tips agar tidak mudah bosan di rumah, para guru yang tidak putus mendukung sekolah dari rumah, perusahaan yang rela para pekerjanya bekerja dari rumah, dan masiih banyak lagi yang membuat saya menyadari bahwa ternyata, kita di Indonesia bisa sesolid itu. Yang tadinya saya pikir orang-orang sudah seegois itu, tapi ternyata tidak. Semua bekerja sama, saling menjaga.

Semoga kita senantiasa dikuatkan dan diberi kesabaran seluas-luasnya untuk melalui semua ini. Semoga para dokter dan tenaga medis selalu dalam lindungan Allah SWT, semoga yang sakit segera diberi kesembuhan, dan semoga yang sehat selalu saling menjaga. This too shall pass InsyaAllah.

#staysafe
#stayhome
#dirumahaja







THE TRULY HAPPINESS

| on
January 11, 2020

Halo!

Tidak terasa ya sudah 10 hari berjalan di tahun 2020. Meski bagi sebagian di awal tahun dilalui  dengan struggling karena banjir, dan sebagian yang lain saling bergandeng tangan membantu yang terkena banjir, semoga ujiannya kali ini selalu membawa prasangka baik kepadaNya, bahwa pasti ada hikmah dari setiap kejadian, InsyaAllah :)

Di akhir tahun lalu saya sempat membeli buku karya Puty Puar "Happiness Is Homemade". Buku ini telah lama menjadi incaran saya, dan Alhamdulillah ternyata berjodoh juga. One of my truly happiness ketika bisa mendapatkan buku ini di sebuah bazaar buku di Surabaya dengan separuh harga. Meski cover nya masih versi yang lama, tapi toh tidak mengurangi makna isinya :)

Jadi, sebenarnya kenapa buku 'Happiness Is Homemade' ini begitu ingin saya baca? Jujur, menjelang akhir tahun kemarin saya seperti kehilangan sesuatu. Seperti menjadi kurang dapat memaknai setiap hal kecil yang ternyata jika mau sedikit melihat lebih dekat, itulah makna kebahagiaan yang saya punya. Betul kata Puty Puar di dalam bukunya, bahwa di era digital seperti sekarang, dimana setiap hari kita disuguhi berbagai update dari teman-teman tentang liburan, foto instagenic, makanan restoran ternama, minuman kekinian, tentengan hasil belanja barang branded, dll adalah hal yang terkadang membuat kita bertanya, apa iya aku bahagia juga sekarang?

Berbagai update an tersebut bukan hal yang salah, karena semua sah-sah saja. Dan masih mending sih, daripada contoh cerita Puty Puar di bukunya, tentang update di media sosial which showing about minum jus orange diatas floaties unicorn di sebuah kolam privat, atau bahkan berfoto menyaksikan Aurora Borealis di Iceland, atauu naik balon udara, yang untuk level di saya sih ini omaigatt.

Saya, yang seorang Ibu rumah tangga dengan penghasilan yang tempo-tempo jelas akan mengeryitkan alis jika menyaksikan semua update an itu setiap hari. Mungkin, sederhana saja, tidak usah buka-buka sosial media lah agar tenang dan tidak bertanya-tanya lagi. Sesekali mungkin iya saya melakukan social media detox, namun seringnya tetap dibuka juga untuk dapat update tentang blogging, lomba-lomba, dll yang bisa membawa peluang cuan :D atau sekedar ingin keep in touch dengan sahabat. Apalagi saya yang punya lingkup sosial makin sempit karena menjadi Ibu Rumah Tangga, media sosial kadang sebagai alat bagi saya untuk tetap bisa 'merasa' bersosialisasi.

Jadi, membaca buku ilustrasi yang sederhana namun cukup dalam maknanya seperti 'Happiness Is Homemade' bisa menjadi obat penawar dari setiap alis yang mengkerut :')

Dan hampir semua yang ditulis Puty Puar di 'Happiness Is Homemade' sangat related dengan saya. Simply happiness like, bisa dapat barang incaran dengan harga diskon setelah ditunggu-tunggu sekian lama. Saya percaya, semua yang terjadi, even nemu barang incaran setengah harga, adalah atas ijinNya.

Lalu saya mencoba mengingat-ingat apa-apa saja yang ternyata membuat saya merasa sangat bahagia?
  • Bisa mencuri waktu untuk makan bakpia yang enaak banget oleh-oleh dari tetangga ketika sedang mengatur pola makan sehat karena keluhan nyeri di leher. 
  • Ketika beli semangka, kecil, murah, dan memilih dengan ilmu seadanya, dan pas dibuka merah dan maniss sekali.
  • Mulai texting dengan berani ke mama dalam rangka Hari Ibu untuk berterima kasih, karena selama ini saya tidak pernah melakukannya. Aslinya karena iseng ikut giveaway, tapi terus mikir, kenapa tidak disampaikan langsung ke mama, karena rasanya saya belum pernah berterima kasih ke mama in case secara tulisan dari hati yang terdalam. Ternyata mama terharu :')
  • Texting ke mama mertua how I love her. Dan rasanya lega sekaligus happy
*bagi saya yang sedikit tertutup dan suka memendam perasaan, melakukan sesuatu yang tidak biasa, seperti hal di atas ternyata bikin bahagia :')
  • Mendengar Aliyah mengucapkan 'Mama, Yaya suka makan ini. Tolong besok mama bikinin lagi ya'.
  • Deeply hugging with hubby, after arguing emotionally. Paling tidak, setelah berselisih kami masih sadar untuk saling memaafkan.
  • Masuk ke minimarket atau supermarket/mall, terus cium aroma barang-barang baru. Hahaha aneh banget ya wangi aromatherapy favorit saya. 
  • Window shopping di marketplace. Masukin ke keranjang, terus lupa. Happy karena lupa dan jadinya gagal bikin kantong boncos :P
  • Having quality time by talking heart to heart with beloved sister. Mengobrol dengan adik saya semakin kesini semakin dalam. Meski sering juga kami berantem dan adu ego, tapi adik bisa mulai jujur dengan perasaannya. Jadi, saya mulai belajar mengesampingkan ego sebagai kakak yang 'saya tuh kakaknya, saya pasti benar' dan menerima kalau saya manusia biasa yang juga suka banyak salahnya.
  • Bisa curhat dengan Bapak walaupun tidak pernah selesai dan Bapak juga tidak pernah tau pasti apa yang saya curhatin wkwkw. Punya hubungan yang naik turun dengan Bapak sejak remaja, kadang suka   merasa aneh ngobrol dengan Bapak. Tapi ternyata Bapak bisa menerima dan menghargai saya kalau sedang curhat :)
  • Chit chat dengan sahabat cerita receh atau sekedar minta advice dokter anak yang bagus dimana :D
  • Bisa video call dengan sepupu (yang supersibuk :P) yang bikin kangen saking lamanya ga ketemuan.
  • Dapat makanan dari tetangga, pas lagi mager mau masak.
  • Angkat jemuran beberapa menit pas sebelum hujan turun (ibu-ibu sekali ini :D)
  • DM dari teman-teman yang membaca tulisan di blog saya. Seperti dapat suntikan energi yang luar biasa. Terimakasih yaa :)
  • Tiba-tiba disamperin Aliyah tanpa alasan langsung memeluk dan mencium pipi saya dengan ucapan "Yaya sayang mama".

Ternyata kalau mau melihat dengan lebih dekat, banyaak sekali hal yang dapat membuat kita bahagia yaa :) The truly happiness from the deep of our heart ❤️

Seperti di tulisan saya pada blog post sebelumnya bahwa saya akan belajar lebih menerima. Maka, di tahun 2020, waktunya mencoba untuk lebih menerima dan menjadi lebih terbuka atas perasaan, atas diri sendiri, atas segala yang terjadi, dan atas orang-orang di sekitar. Selain menerima diri sendiri, bisa menerima orang lain dengan apa adanya ternyata juga membawa rasa bahagia. Termasuk menerima kalau sah-sah saja yang lain update kehidupan mereka yang tidak semestinya sama dengan kita :) They have their own happiness tho.

Dari cerita diatas, sepertinya kebanyakan bahagia itu datang dari orang-orang sekitar kita ya. Selain memang salah satu bahagia adalah punya cita-cita (cita-cita orang lain juga pada umumnya) untuk membahagiakan keluarga dan orang sekitar, ternyata memperbaiki hubungan dengan mereka juga bisa membawa bahagia. Menerima mereka apa adanya sekaligus juga belajar menerima diri sendiri adalah salah satu sumber bahagia. Dan ternyata bahagia itu bisa saya rasakan meski saya tidak belibur di luar kota/luar negara, update fashun head to toes, barang-barang branded, makan di restoran ternama kekinian, dan lain-lain. Bahagia ternyata sesederhana hati yang terbuka untuk menerima. The more acceptances, the more happiness ❤️

Semoga di tahun 2020 ini semakin banyak bahagia yang patut kita syukuri ya :)

Kalau teman-teman, apa saja yang sudah membuat teman-teman merasa bahagia? :)

Have a great year of 2020!







A LITTLE NOTE FROM LAST DECADE

| on
December 31, 2019

Halo!

Tidak terasa sebentar lagi tahun berganti. Ganti tahun dan ganti dekade. Sebelumnya saya sendiri tidak menyadari bahwa tahun ini kita akan berganti dekade sampai saya membaca timeline dan, yah teryata dekade juga ikut berganti. Kalau dirunut kebelakang, 10 tahun yang lalu, tentu saya, teman-teman, kita semua mengalami banyak kejadian yang bermakna, Ada suka, duka, susah, senang, keberhasilan, kegagalan, pengharapan, kekecewaan, penantian, pencapaian, dan masih banyak lagi yang kesemuanya meminta kesabaran, keikhlasan, keridhoan kita sebagai manusia yang sebenanya sedang menjalani perannya masing-masing.

Masih teringat 10 tahun yang lalu ketika teknologi mulai berkembang dan seketika semua berjalan begitu cepatnya. Saya yang 10 tahun yang lalu baru saja menjadi sarjana yang kebingungan mencari pekerjaan dan menentukan langkah. Tidak ada yang begitu diinginkan kecuali cepat-cepat bekerja. Dan 10 tahun kemudian memutuskan untuk berhenti dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Sempat menjadi ambisius ingin ini ingin itu, lalu menyerah dan memilih mengikuti jalan ceritaNya, lalu kembali ambisius, lalu kembali menyerah dan mengikuti jalan ceritaNya. 

Di 10 tahun terakhir saya banyak belajar dari kehidupan yang saya jalani. Saya mencoba meninggalkan jiwa-jiwa ambisius yang dulu. Mengubah persepsi bahwa bahagia sejatinya sangat sederhana. Saya yang terkadang terlalu fokus dengan hal-hal yang besar, mengucap syukur kepadaNya atas hal yang besar, dan terlupa bahwa bisa masak masakan sederhana dengan enak dan dalam keadaan sehat juga perlu rasa syukur. Bisa menyaksikan Aliyah tumbuh semakin tinggi juga perlu rasa syukur. Bisa berpelukan dengan suami meski sambil menangis juga perlu rasa syukur. Dan, ternyata saya punya banyak hal yang harus saya syukuri. Tidak melulu tentang keluarga yang harus selalu bahagia, badan yang selalu sehat, makanan yang selalu enak, hati yang selalu senang, karena semua butuh keseimbangan. Saat kondisi keluarga sedang tak selaras, ada syukur didalamnya bahwa kami masih sama-sama bertahan. Saat kondisi badan yang sedang tidak sehat, ada syukur di dalamnya bahwa sakit adalah tanda dosa-dosa kita sedang dihapuskan. Di dalam makanan yang tidak selalu enak, ada syukur bahwa paling tidak kita masih bisa makan hari itu. Di dalam hati yang tidak selau senang, ada syukur bahwa sedih sesekali pun boleh untuk bisa belajar menerima. 

Dua hal yang paling struggle bagi saya di 10 tahun terakhir adalah saat saya harus kehilangan adik laki-laki yang biasanya tidak hanya sebagai adik tapi juga sahabat sejati saya. Ditinggalkan olehnya, jujur menyisakan traumatis yang mendalam bagi kami sekeluarga. Melalui 3 tahun terakhir tanpanya adalah perjuangan. Tapi kami akhirnya bisa mengerti bahwa semua ada waktunya, dan mulai belajar melepaskan yang menjadi milikNya. Yang kedua adalah memutuskan berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Bagi saya, belajar untuk menyesuaikan diri dari yang awalnya mempunyai kehidupan sosial di luar rumah, punya penghasilan sendiri dan bebas menggunakannya menjadi ibu rumah tangga yang sehari-hari berdua dengan Aliyah, terkadang ada penghasilan dan terkadang juga tidak sangat butuh waktu belajar yang tidak sebentar. Meski telah menjadi Ibu selama 4 tahun (waktu yang seharusnya sudah bisa membuat saya move on) ternyata masih tergolong kurang bagi saya untuk menyesuaikan diri. Sampai saat saya membaca postingan mbak Iput @iburakarayi tentang untuk menempatkan segalanya dengan mengembalikan lagi kepadaNya. Saya, yang saat ini adalah ibu rumah tangga adalah semata-semata dariNya. Begitu pun dengan teman-teman yang bekerja, semua atas ijinNya. Sesederhana itu sebenarnya. Dan apapun itu semua InsyaAllah akan membawa kebaikan untuk kita. 

On the next decade, kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi. Karenanya saya belajar untuk menerima semua jalan cerita dariNya. Bukan berarti menyerah, tapi tetap berjuang dan bertahan. Tentang apa yang nanti menjadi ujungnya, biar saja menjadi rahasiaNya. Dengan prasangka yang baik, InsyaAllah apapun itu akan membawa syukur dan bahagia untuk kita :) Jangan lupa juga untuk berterimakasih kepada diri sendiri karena sudah bertahan dan berjuang ya :)

Selamat menyambut dekade yang baru :)




-Dari Ajeng untuk Ajeng. Terimakasih sudah bertahan untuk berjuang-







Sebuah Pesan dari Bapak

| on
November 24, 2019

Halo!

Pernah tidak teman-teman merasa sudah berbuat baik ke seseorang tapi setelahnya respon orang tersebut ke kita ga seperti kita ke mereka? Jadi seperti kita berharap orang membalas kebaikan yang sudah kita lakukan. Saya pernah merasa seperti itu. Dan ternyata di dalam agama itu tanda kalau kita kurang ikhlas dalam memberi :( Astaghfirullah.

Memberi seharusnya ya memberi saja. Tak harap kembali. Seperti orang buang air yang legaa banget kalau sudah keluar dan tidak perlu diingat-ingat lagi.

Di dalam Al Quran sudah jelas sekali janji Allah SWT. Setiap kebaikan pasti akan dapat balasannya walau sebesar biji dzarrah. 

Saya jadi teringat cerita Bapak yang dulu sempat bertemu orang yang baru dikenalnya di dalam pesawat menuju Lombok bersama rahimahullah adik. Orang yang baru kenal di pesawat, tapi menawarkan tumpangan kepada Bapak, dan keesokannnya memancing bersama.

"Kok bisa ya Pak, orang baru kenal begitu bisa baik banget sama Bapak?" tanya saya. "Ya bisa saja, Wallahualam. Bukan karena Bapak, tapi bisa jadi karena balasan dari masa lalu, bahkan laluu banget. Rahimahullah mbah Kung mu dulu tiap ada tentara habis latihan lewat depan rumah, ditawari masuk ke rumah untuk istirahat dan ditawari makan. Kebaikan itu bisa saja balasannya tidak langsung ke kita. Bisa ke anak-anak kita, bahkan ke cucu-cucu kita kelak. Intinya, dilakukan saja sekecil apapun itu. Biar Allah SWT yang membalas" jawab Bapak.

InsyaAllah, Aamiin Allahumma Aamiin 💙


Berhenti Untuk Kembali :)

| on
September 13, 2019

Halo!


Apa kabar teman-teman mama? Satu bulan berlalu sejak tulisan terakhir saya di blog ini, sampai akhirnya saya kembali dan membuat tulisan ini :) 

Sebulan terakhir saya tidak update postingan apapun di blog, juga tidak terlalu sering berbagi di sosial media seperti biasanya. Sedang mencoba belajar untuk memahami diri sendiri, bagaimana cara berinteraksi di media sosial dengan baik, dunia blogging dan sejenisnya, bagaimana dampaknya bagi saya secara mental, serta bagaimana pula dampaknya bagi teman-teman mama yang membaca sharing saya selama ini, membuat saya berhenti sejenak. Apakah saya benar-benar berbagi manfaat kepada teman-teman? Atau hanya sekedar sok tahu, dan lupa bahwa diluar sana masih banyak yang jauh lebih tahu banyak daripada saya. 

Tentang berhenti sejenak

Berbagi pengalaman dan berusaha membuat konten yang bermanfaat awalnya dibuat dengan tujuan sederhana untuk sekedar untuk berbagi siapa tahu ada yang juga related dengan pengalaman yang saya alami. Namun, seiring berjalannya waktu, tujuan sederhana itu kemudian berubah menjadi tuntutan. Saya menuntut diri sendiri untuk terus update agar tidak ketinggalan dengan yang lain. Lalu menjadi lupa akan tujuan diawal.

Proses yang berulang, kebuntuan akan ide sampai pada titik membuat saya menjadi sedikit bosan dalam melakukannya. Berusaha untuk tidak ketinggalan membuat mental saya menjadi kurang sehat. Saya menjadi lebih mudah marah kepada siapa pun. I'm getting stuck! Lalu saya berpikir, mungkin mundur sejenak, berhenti sebentar akan membuat saya merasa jauh lebih baik. Kembali mengkaji apakah yang dilakukan selama ini benar-benar bermanfaat atau tidak. Mencoba tidak menulis sampai rindu menulis. Membaca buku yang tidak disuka, sampai rindu untuk membaca buku kesukaan. Tidak berbagi sampai rindu untuk berbagi. 

Tentang berbagi

Berbagi kepada teman-teman mama-mama merupakan alasan utama mengapa saya mencoba untuk kembali. Berbagi adalah tujuan awal saya yang sempat terlupakan. Berbagi bukan untuk sok-sokan karena saya pun masih perlu banyak belajar, dan masih banyak teman-teman mama-mama yang lebih tau dari saya.

Berbagi melalui akun media sosial sebaiknya memang memberi kebaikan untuk pemiliknya dan teman-teman yang membacanya sekecil apapun itu. Karenanya, mencoba menjadi lebih berhati-hati untuk membuat postingan pun dipertimbangkan. Dan memikirkan bagaimana caption yang tepat agar tidak menyakiti siapapun. Repot? Iya, repot.

Tidak jarang, setelah repot-repot membuat konten yang kira-kira bermanfaat, ternyata respon yang didapatkan terkadang tidak sesuai harapan. Sedikit yang membaca, sedikit yang suka, sedikit yang sharing. Then, am i feeling down about it? Yes, sometimes. I'm just a human :)

Dan pagi ini, di tengah-tengah perhentian saya, saya membaca postingan dan tulisan Puty Puar berjudul "Karena Proses Mungkin Tentang Hal-Hal Yang Membosankan". Seperti biasa ciri khas Puty Puar yang menulis tanpa bertele-tele  namun sangat berarti, saya mendapat poin penting yang saya cari selama ini, setelah membaca tulisan tersebut. Ternyata memang saya sedang berproses. Rasa bosan dan stuck itu adalah bagian dari proses. Dan saya tidak sendirian. Puty Puar, pun pernah mengalaminya. I'm 1000% related with it. Sangat banyak orang sukses yang mengingatkan untuk sabar menjalani setiap proses menuju kesuksesan, namun sangat sedikit yang menjelaskan seperti apa prosesnya. Mengalami naik turun sudah pasti. Tapi, tentang bertahan pada rasa bosan, saya baru saja mengetahuinya setelah membaca tulisan Puty Puar diatas. 

Jadi, ya! Saya kembali ke blog ini. Mengelap debu-debu yang sedikit menempel. Mencoba kembali berbagi, dan sudah siap dealing dengan segala respon yang kelak diterima nanti. Apapun responnya, saya percaya bahwa saya dan teman-teman dapat saling menerima :) Semoga nanti apa yang coba saya bagi dapat membawa manfaat untuk teman-teman, dan semoga tidak lagi menjadi terlalu sok tahu seperti yang dulu :)

*mohon maafkan saya yang lalu, yang terkadang masih suka menjadi terlalu sok tahu :)



Ramadhan Kareem: When is my prayer granted by Allah SWT?

| on
May 17, 2019

Halo!

Bagaimana 10 hari pertama bulan Ramadhan teman-teman mama-mama? Semoga lancar ya ibadah puasa, dan ibadah lainnya yang ditunaikan di bulan Ramadhan ini :) Semoga semua amalan ibadah kita  membawa berkah dan diterima oleh Allah SWT. Aamiin.

Beberapa hari terakhir saya sempat off posting tulisan di blog ini cukup lama. Sebenarnya banyak sekali konten di pikiran yang antri untuk ditulis. Tapi karena memang urusan domestik di rumah juga sedang minta perhatian lebih, jadi blog nya baru bisa di update sekarang :)

Tulisan saya kali ini terinspirasi dari postingan IG adik saya yang bercerita tentang ceramah yang ia dengarkan saat solat tarawih. Ustadnya bercerita tentang, bagaimana saat kita bertanya, kapan Allah akan mengabulkan doa-doa kita? Pertanyaan ini juga seringkali melintas di benak saya. Sesekali saya bertanya, Ya Allah kapan doa saya akan dikabulkan? Setiap hari saya panjatkan doa yang sama, berulang dan berulang.

Bagaimana jawaban sang ustadz? Ustadznya memberi perumpaan seperti ketika kita sedang mendengarkan lantunan nyanyian dari seorang pengamen jalanan. Jika pengamennya bernyanyi dengan asal-asalan, biasanya kita segera memberi uang agar pengamen itu segera menghentikan nyanyiannya. Namun, jika pengamennya bernyanyi dengan suara yang yang merdu,  maka dengan senang hati kita akan menunggu untuk membiarkan pengamen itu menyelesaikan lagunya, menikmati setiap alunan suara merdunya, lalu memberi nya uang (bahkan dengan jumlah yang lebih besar biasanya).

Perumpamaan diatas sama seperti lantunan doa-doa yang kita panjatkan kepadaNya. Setiap lantunan doa kita terdengar merdu oleh Allah SWT. Allah SWT sangat senang mendengar setiap lantunan doa yang kita panjatkan. Kita hanya perlu bersabar, karena InsyaAllah doa-doa kita akan dikabulkan oleh Allah SWT, bahkan bisa lebih dari yang kita harapkan. Aamiin InsyaAllah.

Sebelumnya, saya juga pernah membaca cerita yang sama di konten milik @madcatnip. Tentang @madcatnip,  @madcatnip merupakan salah satu akun yang sering memposting konten Islami dengan gambar ilustrasi. Go follow them, InsyaAllah bermanfaat :)

Nah, bercerita tentang doa-doa yang dikabulkan oleh Allah SWT, yang seringkali jawabannya datang dari arah yang tidak pernah kita duga, saya pun pernah mengalaminya. Masih segar dalam ingatan saya, saat bulan Ramadhan tahun lalu, sewaktu saya mengikuti kompetisi blog, dengan hadiah utama uang cash lima juta rupiah. Saya berdoa, memohon kepada Allah SWT, berikthtiar untuk menjadi pemenang utama. Jika menjadi pemenang utamanya, saya berniat untuk membantu kedua orang tua saya, dengan uang hadiah yang saya dapatkan. 

Qadarullah, saya tidak menjadi pemenang utama. Saya menjadi pemenang favorit dengan hadiah voucher belanja. Dengan menangnya saya atas hadiah voucher tersebut, ternyata Allah mengabulkan doa adik saya yang diam-diam menginginkan sepatu baru. Bagaimana dengan orangtua saya? MasyaAllah Alhamdulillah, Allah SWT memberi mereka rezeki, dari jalan yang lain, cash lima juta rupiah, seperti doa yang saya panjatkan.

Allah SWT tidak menjawab doa saya seperti cara yang saya minta. Allah SWT menjawabnya dengan cara yang jauh lebih indah :) Terkadang kita seringkali merasa Allah SWT belum mengabulkan doa-doa kita. Padahal mungkin saja, dari setiap rezeki, nikmat, ujian, kemudahan, kesulitan, di dalamnya ada jawaban atas lantunan doa-doa yang kita panjatkan. Kita hanya diminta untuk lebih bersabar dan bersyukur, menikmati setiap cerita di dalam kehidupan yang kita jalani, karena InsyaAllah selalu ada Allah SWT yang menemani :)

Semoga sharing saya kali ini bermanfaat ya :)

Selamat berpuasa :)



Learning to Start Believing

| on
April 15, 2019


Halo!

Tulisan ini sebenarnya sudah ada di postingan Instagram saya sejak bulan maret yang lalu. Walaupun awalnya untuk ikut serta di dalam DarlieXBPN, namun tulisan ini benar-benar menjadi pengingat untuk saya dalam menjalani peran sebagai seorang ibu. Tulisan ini seperti satu bagian diri yang mulai percaya bahwa saya bisa melewati setiap prosesnya bersama dengan Aliyah, dengan segala yang kami miliki, dengan ketidak idealan milik kami. Dan rasanya sangat legaa bisa menulis dari hati seperti ini :') Semoga tulisan ini juga dapat memberi manfaat untuk teman-teman yang membaca :) 

"Menjalani peran sebagai seorang ibu sejak 3,5 th yg lalu dimulai dengan perasaan ragu, apa iya saya bisa melalui segala prosesnya. Diawali dengan baby blues yang melanda dan merasa khawatir serta ketakutan melihat bayi Aliyah, sampai tidak ingin ditinggal suami bekerja karena takut terjadi sesuatu pada si anak bayi. Keraguan itu seperti mendarah daging di tubuh saya. Banyaknya informasi parenting di sosial media dengan segala bentuk ke-'idealan' bagaimana menjadi orangtua justru semakin membuat tinggi gunung keraguan itu. Saya menuntut diri untuk bisa segalanya bagi Aliyah. Saya tidak boleh lelah. Saya harus bisa seperti ini, saya harus bisa seperti itu. Saya ragu dengan diri saya sendiri. Sampai di satu obrolan dengan seorang sahabat, "Jeng, ga apa-apa kalau kamu lelah. Boleh kok kalau kamu bilang ke Aliyah kalau sedang lelah". Sejak obrolan itu, Saya mulai yakin untuk percaya bahwa tidak ada orang tua yang sempurna di dunia ini. Saya boleh merasa lelah. Saya percaya Aliyah sangat mencintai saya seperti saya mencintainya. Aliyah tidak menuntut banyak hal dari saya. Aliyah tidak menuntut mamanya harus bisa melakukan segalanya. Dengan segala keterbatasan kami, dengan segala ketidaksempurnaan milik kami, Aliyah tetap berkata "Mama, sayang. Yaya sayang mama". Ucapannya membuat saya yakin jika Aliyah percaya pada saya. Jika Aliyah percaya pada saya, maka saya harus percaya pada diri sendiri bahwa kami dapat melalui setiap proses kehidupan ini bersama, dengan segala kurang lebihnya. Saya pun juga percaya kepada Aliyah bahwa ia akan tumbuh menjadi anak yang baik-baik saja sesuai dengan fitrah-Nya. Salah satunya seperti saya percaya kepada Aliyah kalau ia dapat mengambil foto ini dengan baik 😊 Terimakasih Yaya ❤️
*Untuk semua ibu yang penuh dengan rasa khawatir, tidak apa-apa, InsyaAllah semuanya akan baik-baik saja 😊 "
Menjadi orang tua milenial dengan banyaknya informasi parenting terkadang menuntut saya untuk berusaha menjadi orang tua yang 'ideal' sesuai standar akun-akun parenting yang saya ikuti. Padahal, sebenarnya tidak ada yang mengharuskan saya untuk seperti itu, termasuk Aliyah sendiri. Saat merasa kelelahan, ternyata saya saya boleh berkata lelah pada Aliyah. Dan rasanya legaa sekali. Makin kesini, saat saya berkata lelah, "Yaya, mama capek, boleh ya mama tidur dulu sebentar" , Alhamdulillah Aliyah mengerti. "Capek ya mama" "Selamat tidur mama" saya dihadiahi kecupan di pipi. Walaupun tidak selalu juga seperti ini tapi rasanya MasyaAllah, priceless sekali...

Respon Aliyah yang menerima saya apa adanya membuat saya mulai belajar untuk percaya diri, percaya pada Aliyah, percaya pada suami saya bahwa kami dapat melalui kehidupan ini bersama dengan segala kelebihan dan kekurangan milik kami, dengan segala bentuk ketidak idealan milik kami :) Ternyata menerima segala apa yang kita miliki, kemampuan yang kita punya, berusaha untuk percaya diri bahwa we can do it by our own way dapat memberi perasaan yang jauh lebih baik, lebih bahagia dan lebih bersyukur lagi atas segala nikmat dariNya :)

Have nice day!

MAMA, IBU, BUNDA atau?

| on
March 27, 2019

"Mbak, aku nanti kalau punya anak mau nya dipanggil Ibu ah sama anakku" begitu kata adik saya saat kami sedang mengobrol.
"Lha, kenapa gitu?"
"Ya ga kenapa-kenapa juga, suka aja. Bagus, seperti orang-orang Jawa gitu." katanya lagi.
"Oh,.."
"Eh, mbak tau ga, ada loh arti-artinya kita manggil anak kita apa. Aku pernah baca di artikel mana gitu, jadi kalau dipanggil Ibu sama anaknya, seperti punya norma-norma yang idealis gitu. Kalau dipanggil Mama, berarti posesif sama anaknya. Kalau Mami itu, seperti memanjakan gitu. Kalau Bunda...ehm apa ya aku lupa. Gitu lah pokoknya" jelas adik saya.
"Lah, Aliyah manggil aku mama, aku posesif dong, hahaha" jawab saya.

Percakapan diatas tidak sekali dua kali kami obrolkan tapi berulang kali, hahaha. Entah kenapa juga sering terulang, dan selalu seru untuk dibahas.

Kalau ditanya kenapa saya memilih dipanggil Mama oleh Aliyah, sebenarnya alasannya sederhana. Menurut saya, kata Mama adalah kata yang paling mudah diucapkan oleh anak bayi, dan saya cuma ingin menjadi kata pertama yang diucapkan oleh anak saya. Dan Alhamdulillah kata pertama Aliyah adalah Mama. Entah karena dia memanggil saya atau sekedar celotehan random si anak bayi :') Tapi saya anggap Aliyah sedang memanggil saya, karena saat mendengar Aliyah mengucap ma-ma ma-ma rasanya terharu sekali. Unforgettable moment lah pokoknya :) 

Panggilan Mama sebenarnya sangat mendarah daging di keluarga besar kami, baik dari keluarga ibu saya maupun ayah saya. Semua tante dipanggil mama oleh saudara-saudara sepupu saya. Dari keluarga suami saya pun begitu, suami saya memanggil ibunya dengan sebutan mama, begitu juga dengan tante-tante dari pihak suami saya, sebagian besar dipanggil dengan sebutan mama oleh anak-anaknya.

Bisa jadi faktor lain saya memilih untuk dipanggil Mama oleh Aliyah karena lingkungan saya yang sebagian besar memanggil ibu nya dengan sebutan mama, lalu masuk ke alam bawah sadar saya, bahwa ibu itu ya manggilnya dengan sebutan mama, hehe.

Kembali ke soal bahasan obrolan saya dan adik, bahwa setiap panggilan anak ke ibu nya memiliki arti, saya jadi penasaran apa iya seperti itu. Lalu saya menemukan artikel di detikhealth dari detik.com yang membahas soal makna dari setiap panggila anak ke ibunya. Valid atau tidak nya artikel itu saya belum tau pasti, namun jika teman-teman mama-mama juga ingin tau seperti apa perbedaan maknanya berikut rangkuman artikelnya:

1. Ma'am atau Nyonya : Tipe orang tua yang otoriter dan disiplin
2. Mama : Tipe orang tua yang posesif
3. Mother/ Bunda: Tipe orang tua yang sering memaksa anak untuk selalu menjadi yang terbaik
4. Mom/ Ibu: Tipe orang tua yang netral, sesuai dengan norma umum yang berlaku di masyarakat
5. Ma/Mak, Emak: Tipe orang tua yang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan anak
6. Nama Asli: Tipe orang tua yang tidak mementingkan norma-norma di masyarakat.
7. Mommy/ Mami: Tipe orang tua yang memanjakan anak.

Saya sebenarnya cukup senang juga membaca artikel dari detikhealth tersebut, karena jujur semakin besar Aliyah, ia semakin sering memanggil saya dengan sebutan Mak.

"Mak... mak dimana, Yaya carii..."
"Mak, main sama Yaya..."
"Mak, Yaya mau pipis..."
"Mak, sudah maakk... cebok maak"
" Mak, lapar, mau makan Yaya"
"Mak, ikuuutt..."

dan seruan-seruan Mak lainnya, kalau kalau saya jabarin satu-satu bisa jadi novel blog post ini :D Namun, yang paling saya percaya sih, Aliyah jadi memanggil saya dengan sebutan Mak, karena meniru saya memanggil ibu saya yang sering saya panggil dengan Mak juga, hehe. Kebetulan kami berasal dari Sulawesi, dan di daerah asal kami mama means mamak :)

Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu ambil pusing dengan makna panggilan anak kepada ibunya, karena poin pentingnya adalah bagaimana hubungan antar ibu-anak itu sendiri. Bagaimana kita dapat membesarkan anak dengan penuh cinta, mencintai anak dengan cara kita sehingga anak pun tumbuh dengan merasa dicintai oleh orangtua. Saya yakin, apapun panggilan anak kepada ibunya, pasti akan selalu tetap "kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa".

Bagaimana dengan teman-teman mama-mama? Dipanggil dengan sebutan apa oleh anak?

Yuk sama-sama share disini :)

Semoga sharing saya bermanfaat ya :)


Enjoy!

referensi: www.detik.com



THINGS I LEARNED FROM CATATAN NAJWA SHIHAB WITH MAUDY AYUNDA

| on
March 26, 2019

Halo!

Sudah menjadi rahasia umum betapa hebohnya dunia maya, saat Maudy Ayunda, aktris multi talenta dengan paket lengkapnya, cantik dan pintar, memposting soal dirinya berhasil lolos di dua universitas terbaik di dunia, Stanford University dan Harvard University untuk melanjutkan pendidikan S2 nya. Saya adalah salah satu yang terbawa euforia nya ;') karena jujur i adore her so much. Saya tidak memandang keaktrisannya, atau kecantikannya, tapi betapa dia tidak pernah berhenti untuk belajar, melakukan berbagai hal semampu dia dengan semaksimal mungkin untuk memberi manfaat di lingkungan sekitarnya. She's an ambisious enough yet very humble too. Saya sendiri sangat banyak belajar dari Maudy Ayunda walaupun sebatas melihat berbagai updates nya di Instagram.

Saya juga salah satu yang ikut-ikutan reshare blog post Puty Puar tentang kelulusan Maudy Ayunda di dua universitas terbaik di dunia ini. Bahwa apa-apa yang diraih bisa juga karena previllege yang dimiliki oleh Maudy Ayunda, seperti dia aktris, dia dari keluarga yang sangat mampu, dia lulusan dari British International School sehingga aksesnya untuk sekolah ke Oxford jauh lebih tebuka dibandingkan lulusan sekolah negeri :'), dll. Memang, bahasan di blog tersebut tidak fokus kepada Maudy Ayunda nya, melainkan mengenai makna previllege itu sendiri.  Saya salah satu yang sepakat dengan Puty Puar tentang previllege yang dimilik oleh Maudy Ayunda, sampai saat saya menyaksikan tayangan channel Youtube mbak Najwa Shihab, Catatan Najwa Shibab, dengan Maudy Ayunda sebagai tamu/narasumber nya.

Tayangan yang berdurasi kurang lebih 27 menit itu, membuat saya belajar banyak hal. Banyak sisi lain yang dapat saya pelajari dari seorang Maudy Ayunda dan juga mbak Najwa Shihab. Terutama tentang bagaiamana previllege yang dimiliki oleh Maudy Ayunda ternyata tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan betapa keras usaha yang dilakukannya untuk meraih itu semua. 

Ada beberapa hal yang dapat saya ambil sebagai pembelajaran setelah menyaksikan tayangan tersebut, baik untuk diri saya sendiri maupun untuk Aliyah kelak:

1. Memvisualisasikan apa yang menjadi impian kita, agar energi, usaha, doa-doa yang terpanjat mengiringi setiap langkah kita untuk meraih mimpi itu. If we believe it, we can do it for sure, InsyaAllah :)

2. Authenticity dalam berkarya. Keaslian, kejujuran atas karya kita. Karya yang asli berasal dari ketulusan dari dalam hati  Motivation letters yang ditulis Maudy Ayunda untuk Stanford University benar-benar berasal dari kejujurannya pada diri sendiri. Saya jadi belajar bagaiamana menjadi diri sendiri tanpa harus terpengaruh oleh orang lain. Saya pun juga belajar untuk menulis blog post yang benar-benar dari dalam hati karena terkadang di beberapa postingan saya lebih ke 'sekedar' menulis :') 

3. Research, research, and research. Melakukan banyak riset atas tujuan/ mimpi yang ingin kita raih. bisa dilakukan dengan belajar dari banyak hal atau pengalaman kita sebelumnya, bertanya kepada banyak orang yang telah berpengalaman sebelumnya, serta membaca dari berbagai sumber. 

4. Lebih banyak baca buku. Saat kecil, buku adalah hiburan satu-satunya yang dimiliki oleh Maudy Ayunda karena di rumahnya tidak ada televisi. Ayahnya bahkan sampai rela ke Singapura khusus untuk membelikan anak-anaknya buku! Diawal tahun ini, saya baru menyadari bahwa saya sangat miskin literasi, dan mulai belajar lebih rajin membaca buku, juga membacakan buku untuk Aliyah. Ternyata memang benar, lebih banyak membaca buku tidak sekedar menambah pengetahuan, tetapi juga membentuk pola pikir serta wawasan kita menjadi semakin luas.

5. Berpikir kritis terhadap sesuatu. Saat Maudy Ayunda kecil, sang Ibu selalu mengajaknya berdiskusi secara dalam tentang berbagai hal. Ibunya sering meminta pendapatnya tentang apapun, salah satunya menu makanan apa yang sebaiknya disajikan saat lebaran, mengapa harus menu tersebut, mengapa menganggap menu ini cocok dengan menu itu, dan berbagia pertanyaan mendetail lainnya. Ternyata benar kata akun-akun parenting :) bahwa penting untuk mengajarkan anak berpikir kritis sedini mungkin. Saya jadi belajar untuk mencoba mengajak Aliyah berdiskusi seperti ini. Namun, jawaban Aliyah masih sebatas "iya, engga, iya, engga" dengan diselingi "ndak mau", :'))

6. Belajar mengambil keputusan sedini mungkin. Dari cerita mbak najwa Shihab, mbak Najwa sudah dibebaskan untuk memilih akan bersekolah dimana saat masih SMP oleh orang tuanya. Sedangkan saya, memilih jurusan untuk kuliah masih melibatkan kedua orang tua saya :') Tidak ingin membandingkan karena saya yakin sudah jalanNya saya seperti itu, namun saya ingin belajar untuk mencoba cara yang berbeda kepada Aliyah. Saya ingin Aliyah dapat mengambil keputusan apapun itu atas dasar keinginannya sendiri, dan bertanggung jawab sepenuhnya atas manfaat, resiko, dampak yang mungkin akan timbul dari keputusan yang diambilnya. Harapannya, kelak dia tidak akan menyalahkan kedua orangtuanya atas apa yang telah dipilihnya :)  Saya pun belajar untuk melatih Aliyah dalam mengambil keputusan sejak lama, mulai saat membeli pakaian, memutuskan ingin makan apa hari ini, ingin bermain apa hari ini, ingin pergi kemana, kalau Aliyah memilih ini resikonya seperti ini, kalau begitu resikonya seperti itu, dll. Namun terkadang lingkungan di sekitar saya yang justru keberatan, anak kecil kok ditanyain begitu menurut mereka. Saya tetap pada pendirian saya, tetap mengajak Aliyah berdiskusi, :))


Kurang lebih 6 hal diatas adalah pembelajaran yang dapat saya ambil setelah menyaksikan tayangan channel Youtube Catatan Najwa Shihab bersama Maudy Ayunda. Blog post saya kali ini bukan berarti saya, Aliyah atau kita belajar untuk menjadi seperti Maudy Ayunda ataupun mbak Najwa Shihab.,tetapi paling tidak kita dapat mengadaptasi nilai positif yang ada pada mereka dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari sebagai diri kita sendiri :)


Bagaimana menurut teman-teman mama?


Semoga sharing saya bermanfaat ya :)

Have a nice day!