A Note To My Self: BAPER

| on
December 08, 2021


Assalamu'alaikum.

Halo!


Baper. 


Jadi orang jangan baperan dong! Atau, duh apa aku yang terlalu baper ya? 


Baper, sepertinya seseorang tuh tidak boleh sekali merasa baper. Hari ini saya chat panjang sekali dengan adik saya. Dia sih yang chat panjang duluan,ahaha. Kami mengobrol panjang sekali sampai-sampai setelahnya saya beli es krim untuk menetralkan hati dan pikiran yang kayaknya penuh sekali :') 


Inti chat kami, yah soal baper salah satunya. Apa aku yang terlalu baper ya, kurang lebih seperti itu. Saya sendiri kadang suka kesal sama kalimat 'jangan baper' atau 'aku aja kali yang baper'. 


Apakah setidak boleh itu kita terbawa perasaan diri sendiri, pada emosi yang dirasakan? Padahal perasaan itu, emosi itu tidak minta apa-apa. Hanya minta kita terima dengan senang hati.


Dari kelas basic parenting yang saya ikuti tempo hari, pada dasarnya ada 5 macam emosi dominan yang sering kita rasakan (waktu itu dalam konteks sebagai orang tua namun menurut saya ini juga cukup valid dalam konteks sebagai individu). 5 emosi dominan itu adalah marah, khawatir, merasa todak enakan, merasa bersalah, dan ingin dipuji. 


Dan saat kondisi atau momen dimana emosi dominan kita sedang keluar, sebenarnya ya tidak apa-apa. Namun, akhirnya menjadi apa-apa karena dianggap baper saat emosi yang kita rasakan itu tidak diterima oleh lingkungan sekitar bahkan diri kita sendiri. Padahal, kalau mau legowo, dan menerima dengan senang hati, tidak ada 15 menit juga akan hilang pelan-pelan emosinya :') 


Saya sendiri sebenarnya cukup struggling dengan istilah baper karena saya memiliki perasaan yang sensitif dalam menyikapi sesuatu. Saya pun tidak suka menjadi orang yang sensitif karena being sensitif sangat melelahkan dan membuat saya hanya punya sedikit teman. Saya menjadi sangat berhati-hati dalam pergaulan. Setiap kalimat yang saya tulis atau saya ketik disusun dengan sangat hati-hati  sehingga tidak jarang menjadi kalimat-kalimat yang kadang terkesan kaku. Semua itu karena saya terlalu takut untuk menyinggung perasaan seseorang, karena saya tau bagaimana sedihnya jika kita merasa tersinggung.


But, here i am now. Saya mencoba untuk menerima rasa sensitif itu dan berusaha menyampaikan apa yang saya rasakan kepada orang-orang di sekitar saya. Saya mencoba mengakui bahwa, yes i'm a sensitif person so it's ok. Dan ternyata orang lain pun pada akhirnya dapat belajar untuk memahami diri saya. Seandainya sewaktu-waktu saya memberi respon yang berlebihan terhadap suatu kejadian (misalnya saya sampai menangis seharian) bagi keluarga saya itu adalah hal yang wajar-wajar saja, hehehe.


Di sisi lain, selain menjadi belajar menerima perasaan diri sendiri, saya juga belajar untuk menerima perasaan orang lain. Ada satu anggota keluarga saya yang tergolong acuh tak acuh. Setiap kali berhubungan dengannya, saya mencoba menetralisir perasaan sensitif yang saya punya. Saya tidak dapat memaksa seseorang untuk menjadi peka terhadap saya. Saya hanya bisa mengontrol apa yang saya rasakan. Kalaupun ternyata sulit, saya memilih untuk lebih baik jarang bertemu dengannya, hehehe.


Begitu pula dengan kehidupan pertemanan yang saya punya. Semakin kesini rasanya dunia pertemanan saya semakin sepi. Awalnya sulit bagi saya untuk menerima kondisi ini, namun, pada akhirnya saya merasa cukup nyaman. Saya mulai percaya bahwa suatu hubungan pertemanan yang sehat bukan dari berapa banyak teman yang dimiliki namun seberapa berkualitas hubungan pertemanan itu, bukan sering tidaknya untuk saling bertemu, namun sering tidaknya untuk saling mendukung. Termasuk menerima emosi dan perasaan dominan yang dimiliki masing-masing.


Semoga pada akhirnya semua mau belajar saling menerima dan memahami, jadi nanti istilah baper sudah tidak perlu digunakan lagi, imho :) 


#mamayayasharingthoughts

Semoga bermanfaat ya :)




Be First to Post Comment !
Post a Comment